Selasa, 27 Desember 2016

Selamat Ulang Tahun Sayang.


Hai, Ida, sepertinya burung-burung itu membawakan kabar baik untukku. Dimana aku saat ini hampir lupa bahwa kau terlahir di tanggal 27 Desember 1980, tepatnya Hari ini.

Aku mengenalmu setahun yang lalu persis di saat-saat aku membutuhkan suara bening dari seorang hawa. Saat itu kau datang tepat waktu di kala aku terpakur dalam sejarah kelam yang baru saja aku kubur di kubangan .... dalam sekali aku mengkuburnya.  

Setahun lebih sudah kita bercengkerama lewat dunia maya, entah sampai kapan dan bagaimana akhir sebuah cerita cinta yang kita rajut kedepan menjadi dunia nyata yang sekiranya bukan lagi dalam dunia mimpi atau apalah namanya, aku tak tahu.

Nda, beberapa menit yang lalu aku sempat terperanjat dari tempat tidurku. Dimana waktu itu aku sedang membaca sebuah buku novel tentang kisah asmara seorang lelaki desa, ia seorang penjual tempe. Tidak hanya itu ia juga seorang mahasiswa Pasca Sarjana di Al-azar, Mesir. Singkat cerita, kisah lelaki desa penjual tempe itu diam-diam mencintai seorang wanita keturunan Jerman yang berakhir pada jenjang pernikahan. Duh, Nda, berat betul ternyata menjalin sebuah cinta. Adakalanya kita sama-sama bosan dengan fase dimana kita saling di hadapkan sebuah problema yang memancing kedua hati untuk bercek-cok.

Tapi Alhamdulillah, semua itu kita bisa mengatasinya dengan baik sekali tanpa harus mengorbankan sesuatu apapun. Kau sama persis dengan cerita si Maryam, wanita keturunan Jerman yang dicintai lelaki desa penjual tempe itu. 

Hai Ida, keberapa tahun kau merayakan hari lahirmu sekarang ? 

Aku hanya bisa mengucapkan semoga kau sehat-sehat saja di sana, di Hongkong di suatu negeri yang terkenal dengan sebutan negeri paling sibuk sedunia. Dimana disana jutaan manusia selalu dihadapkan dengan waktu kerja dan kerja. Mungkin kau seperti robot bernyawa yang hijrah dari Negeri Khatulistiwa.hehe ...

Ida, kisahmu membuat aku semakin giat menaruh hati padamu. " Selamat ulang tahun, sayangku ". Ada sebuah foto yang pernah membuat aku khawatir. Waktu itu kau mengkabarkan di negeri tempatmu berada sekarang mendung lebat sehingga hari itu juga kau ambil cuti kerja. Ah , itu membuat aku khawatir sekali. Tapi dua hari kemudian kau kabarkan " aku baik-baik saja Imamku ", tenanglah aku mendengar berita itu darimu.

Sampai disini sajalah catatanku untukmu, Ida. Sebuah catatan yang sederhana tetapi cukuplah dapat mengisi ruang waktu kosongmu hingga nanti ketika kau membacanya bibirmu akan tersenyum. 

Dariku, lelaki desa.


Foto dari album pribadi Ida Ermawati

Senin, 05 Desember 2016

KREONGAN


Mungkin " ben pas " rasanya apabila disini sedikit saya tambahkan catatan mengenai asal kata" Pandhalungan ". Sebab berbicara Wilayah Kreongan tentunya juga gak luput dengan Budaya tersebut.

Pada awalnya, Kreongan adalah daerah yang banyak di jumpai gumuk yang di kelilingi oleh pepohonan dan sungai yang mengalir membelah kota. hal ini pernah saya singgung sebelumnya pada tulisan " analisis sejarah Kreongan " . Disitu disebutkan bahwa, jalan aspal di Kreongan itu banyak di jumpai tanjakan, unggak- unggakan, dalam istilah bahasa Jawanya. Ini bukti kalau dulunya,kultur tanah Kreongan adalah memang gumuk atau perbukitan. 

Singkat cerita,...

Lambat laun, Kreongan menjadi pemukiman oleh segelintir manusia. Padatnya penduduk di Kreongan yang terjadi puluhan tahun kemudian di sebabkan oleh adanya potensi alam yang sangat mendukung koyok tanah subur dan sangat cucok di buat berkebun dan aliran sungai untuk irigasi persawahan yang pada akhirnya ming-imingi banyak orang untuk berdatangan di Kreongan. Para migran dari kedua suku ( Jawa dan Madura ) itu berbaur sehingga terciptalah budaya baru yang di sebut Pandhalungan itu.

Trooosss, Pandhalungan iku opo pas ?

Lah iki yang perlu kita ketahui bersama, dalam catatan yang ada Pandhalungan berasal dari kata " Dalung " yang berarti periuk besar. Pandhalungan yoiku periuk besar untuk memasak dan mematangkan berbagai menu masakan dan peleburan banyak hal. Pada perkembangannya, Pandhalungan adalah sebutan khas gawe masyarakat dan kultur tapal kuda di Jawa Timur, yang dalam bahasa tempo doeloenya disebut Java Oosthoek. Tentu saja, Kreongan termasuk di dalamnya, soalnya Kreongan sebagian kecil dari Jember.

Ciri-cirine Masyarakat Pandhalungan opo Mas Bro ?

Sek..sek tak pikir diluk,..

1) Masyarakatnya cenderung bersifat terbuka dan mudah beradaptasi.
2) Sebagian besar lebih bersifat ekspresif, cenderung keras, transparan, dan tidak suka berbasa basi.
3) Memiliki ikatan kekerabatan yang relatif kuat, ( mangkakno lek enek masalah, masyarakat Kreongan lebih beramai-ramai atau keroyokan, gotong-royong yang kuat untuk menyelesaikannya )
4) Adanya tradisi lisan ( seneng ngobrol, san-rasan ).
5) Adanya tradisi dan mitos.

Wes, cukup kiranya catatan hari ini tentang Pandhalungan.

Foto, Orang Jawa dan Madura bergaul main kartu. Salah satu ciri masyarakat Pandhalungan yang gampang berbaur.
Foto di jepret oleh Ervan Lare Jember , tanggal 4 Desember 2016 , dari buku " Djember Tempoe Doeloe " karya Dukut Imam Widodo.

Dokumen .Pribadi.

Kamis, 01 Desember 2016

KREONGAN


- Bahasane Wong Kreongan -
" Kon arep lopo pas ? ",
Begitu mungkin salah satu contoh pola bahasa yang di gunakan masyarakat Kreongan.


Bahasa yang di gunakan kesehariannya sedikit banyak mempunyai logat yang atos, kasar. Sebenarnya bahasa di Kreongan ada tingkatan-tingkatanya, seperti bahasa Jember pada umumnya sebab, Kreongan adalah bagian kecil dari Kabupaten Jember, ada bahasa Jawa kasar atau ngoko ada juga bahasa alusnya atau kromo inggil begitu juga dengan bahasa Maduranya. Hanya saja bahasa Madura mengucapkanya lebih tegas beda dengan bahasa Jawa yang cara pengucapanya kalem.

Perpaduan logat Jawa dan Madura inilah yang di sebut Pandhalungan. Loh kok ngono ?, yo iso aelah bro lawong ini salah satu dampak migrasi terhadap dinamika budaya sehingga lambat laun terjadi akulturasi budaya dan menghasilkan budaya baru, nah budaya baru ini yang kita sebut pandhalungan.

Sejarah mencatat tahun 1859 perkebunan di Jember mulai dirintis. Dalam waktu yang relatif singkat, banyak berdirilah perkebunan swasta. Kehadiran perkebunan ini membawa banyak perubahan terutama pada sosial dan ekonomi. Saking banyaknya perkebunan swasta di Jember maka terjadilah gelombang migrasi besar-besaran dari daerah Jawa dan Madura tumpek blek di Jember, mereka tersebar sampai di wilayah Kreongan .

Di Kreongan para migran membawa dan mengembangkan masing-masing budayanya di daerah baru ini tempat mereka bermukim. Menariknya, dari sinilah akulturasi budaya Pandhalungan itu terlahir. Coba deloken Bro, bukti adanya akulturasi budaya bisa kita jumpai adanya kesenian jaranan, can-macanan kaduk dan musik patrol, yang secara otomatis merembet pada bahasa kesehariannya.

Weslah, ketoke kedawan tulisane. Saya kira cukuplah catatan mengenai sejarah bahasane Wong Kreongan.
Lek sek onok sing gak puas yo ayo di lek-goleki maneh gae mbah-tambah pengetahuan hehe ...

Salam Budaya.

Jumat, 11 November 2016

Wajah Kreongan, 1965




Aku mungkin satu-satunya gadis dari saudara-sadaraku yang menyaksikan , dimana Bapakku waktu itu di paksa keluar dari rumah. Di tariknya lengan bajunya dengan posisi kedua tangannya terangkat. Padahal yang sebenarnya Bapakku adalah bukan sama sekali golongan yang menceng dari Pancasila. Aku tahu Bapak bukan orang jahat. Ia, hanyalah seorang putra desa yang istiqomah mendidik anak-anaknya untuk taat beribadah. Tapi Tuhan tak diam, beliau selalu memihak pada " benar ". Bapak terselamatkan dari berbagai tuduhan dan ancaman, sebab ia memang benar-benar dalam kebenaran. Tatkala hingga aku menjadi tua, menegakkan kebenaran adalah prinsip, agar kelak, jika aku mati, aku berada di ruang maha benar yaitu, sorga.
------------------------------------------------------------

" Dulih masok...! " kata Bapakku sembari menutup pintu.
Begitu kata Bapak menghardikku. Waktu itu aku masih berusia tujuh belas tahunan. Emak dengan spontan menarik lengan bajuku, aku di seretnya sampai ke pintu dapur. Aku di peluknya erat-erat, Emak hanya diam saat aku bertanya, Apa salahku. " Neng-neng tak osah bentah, diam gak usah bicara " kata Emakku dengan suara lirih agak berat.

Di suatu siang, aku di kejutkan dengan kedatangan segerombolan pemuda berseragam hijau-hijau menyanggul senapan laras panjang. Mereka berpencar menuju rumah-rumah tetanggaku. Waktu itu aku takut sekali disaat mereka menggedor pintu-pintu rumah yang tertutup rapat. Sebab apa mereka menggedornya aku tak tahu. Selang beberapa menit saja, di pelataran rumahku di buatnya ramai. Mereka berkumpul dengan  posisi kedua tangannya terangkat. Tahu apa aku waktu itu, dari balik cendela aku melihat Bapakku juga melakukan hal yang sama seperti tetangga-tetanggaku. Namun Bapak terlihat sedikit lebih tenang dari lainya, mungkin kebenaran memihaknya sehingga membuatnya lebih bengal. 

Ia memang seorang Bapak pemberani, berwatak keras, tegas. Di balik watak kerasnya sebenarnya ia adalah seorang Bapak yang baik hati dan terkenal dermawan.

Tidak sedikit para istri menangis histeris bahkan ada yang mengoceh-ngoceh gak jelas, mungkin dia merasa ketakutan yang teramat akut. Kira-kira setengah jam-an, bersama mereka Bapak di gelandangnya entah kemana. Mereka berbaris tiga, tiga, lalu berjalan dengan kedua tangannya tak lagi terangkat. 

Kabar berita itu datang sekitar habis adzan dhohor berkumandang. Nafasnya teratur, tenang dengan berpakaian baju koko putih mbulak , Kopiah putih yang membuatnya tampak berkharisma.
" Tak arapah Yu, nang-tenang beih, Kak Sura'i tak pa-rapah, sholawat beih se benyak. Gak apa-apa Mbak, tenang-tenang saja, Mas Sura'i gak apa-apa, bersholawat aja yang banyak" Pak Dahnan namanya, seorang Kiai dari kampung seberang megkabarkan. Darinyalah juga baru kami tahu bahwasanya di lapangan stadion pemerintah mengadakan perburuan besar-besaran bagi warga yang terindikasikan sebagai anggota partai berlambang palu arit itu.September 1965, dimana aku dihadapkan berbagai macam situasi yang mencekam. 

Tahun-tahun sudah terlewati, di suatu sore hari, ...
Obrolan kami menembus adzan Ashar. Penulis menyudahi kisahku di masa silam yang sudah lama sekali aku pendam dalam-dalam. Entah apa, kiranya aku seakan terdesak untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penulis itu, Budi namanya. Anak kelima dari tujuh bersaudara.

Budi, nama penulis itu, ia adalah anakku.

... Terima kasih saya ucapkan kepada Emak, pahlawanku yang tangguh. 

Biografi Emak...

Sri Hartatik namaku, lahir tahun 1948 di Srono, Banyuwangi, Jawa Timur.
Lelaki jangkung, Madsolekan nama Bapakku, berasal dari Kecamatan Kencong, Jember, Jawa Timur.
Senen, nama Ibuku berasal dari Srono, Banyuwangi. Sejak kecil aku dididik dan di besarkan oleh seorang dermawan, kedua pasangan itu adalah Sura'i dan Sulami, keduanya berasal dari Madura yang merantau dan menetap di Jember.


 




Kamis, 10 November 2016

Wajah Kreongan



Menikmati senja di tepian sungai memang asik.
Kreongan bisa di katakan Dusun yang unik, selain mempunyai beragam bentuk seni, Kreongan juga mempunyai karakter bahasa yang kuat. Dalam berkomunikasi keseharianya sering kali cara pengungkapannya terdengar kental perpaduan antara logat bahasa Jawa dan Madura ( ngobrol dengan bahasa Jawa tapi berlogat Madura, salah satu contoh cara mengungkapkan sesuatunya doble-doble hurufnya. Saya ambil contoh, kata keliling- keliling menjadi ling-klilling, muter- muter menjadi ter-mutter, gak onok menjadi gak onnok, selulup-selulup menjadi lup-slollop, neko-neko menjadi ko-neko, dan lain sebagainya. )

Dokumen pribadi. Sungai di Kreongan, Jember
Di jepret 7 November 2016


Selain bahasa, keunikan lainya dapat kita jumpai dua sungai. Jika di cermati lebih teliti, kedua sungai itu membentuk huruf. " y ", huruf y kecil. Kali jompo ( kali letter S ) dan kali mayang ( kali paru-paru ), dua sungai yang mempunyai panjang -+ 93 Km yang mengalir dari lereng Gunung Raung dan Gunung Hyang yang berujung di pantai selatan.
Sayangnya ke dua sungai ini kini tak berseri seperti dulu, seiring waktu, sampah-sampah itu menjadi pemandangan yang mengganggu sejauh mata memandang.
Semoga alamku tetap indah.


Kamis, 20 Oktober 2016

Mbah Demang


- Berkunjung ke makam Eyang Demang Kusuma -
Batu kali yang di ambil dari tempat goa pertapaan Eyang Demang Kusama atau Mbah Demang , yang di prakarsai oleh Samsul Hadi Siswoyo ( Eks.Bupati Jember ) pada tahun 1998 . Salah satu tempat sejarah di dusun Sembah, 500m dri titik nol kilometer yg sempat di kelola oleh seorang supranatural Kebumen.,Jawa Tengah .
Pada tanggal 2 Oktober 2015 adalah kunjungan akhir dan pertama kali saya disana. Wajahnya bersih tampak sumringah, suaranya lembut dan masih tegas, sebagian rambut yang beruban di gelungnya dengan potongan kain borcorak batik berwarna hijau tua.
Adalah Umi Kulsum, perempuan berusia 83 tahun, yang setia sampai saat ini menjaga makam Mbah Demang sejak tahun 1988. Menurut tuturnya, Mbah Demang adalah orang berasal Jawa Tengah yang di utus oleh Wali untuk babat alas dan menyiarkan agama Islam di Jember. Tidak ada catatan yang tertulis kapan Mbah Demang mulai babat alas atau membuka hutan di Jember sebab sejarah Mbah Demang hanya di sampaikan secara lisan, begitupun dengan kisah Suro Nganti kakak Mbah Demang, penjaga alas Purwo-Banyuwangi.
Menjadi juru kunci memang tak semudah membalikkan tangan, semuanya itu harus melalui proses panjang dan rumit. Umi Kulsum sendiri pada saat di pilih menjadi juru kunci mendalami bekal dirinya, mengenai dzikir dan do'a Umi Kulsum memperdalam ilmunya dan berguru pada KH. As'at Syamsul Arifin di Sukorejo, Situbondo. Begitu tutur Umi Kulsum saat kami ngobrol di bawah naungan pohon bambu tepat di pinggir sumur tempat Mbah Demang melakukan pertapaanya dulu.
Makam Mbah Demang bisa di jumpai di dekat persawahan yang tidak jauh dari sungai Jompo. Akses menuju makam tidak sesulit dulu yang harus menyebrangi sungai, kini akses ke makam lebih gampang dengan jalan pintas yang melewati perkampungan Kauman.
Sampai disini dulu kawan-kawan tulisan mengenai Mbah Demang yang berada di daerah Kelurahan Jember Lor, Kecamatan Patrang.
Berikut photo yang di jepret pada tanggal 2 Oktober 2015. 14:39 olehFirdauz Pradana.

Dokumen.Pribadi. Makam Mbah Demang.

Dokumen. Pribadi. Mkam Mbah Demang.

Kreongan Dalam Catatan Saya


- Catatan singkat tentang analisa sejarah Kreongan -
Menggali sejarah memang tidak semudah membalikkan tangan, dalam prosesnya membutuhkan waktu yang panjang, keuletan, kesabaran, harus awas dan pastinya selalu siap di hadapkan pada hal-hal yang rumit. Sebab penulis hidup berada pada posisi jauh sesudah apa yang telah terpendam. Alhasil tidak serta merta langsung mendapat respon dengan baik, wajar.
R. Moh. Ali, Dalam catatanya berkomentar, bahwa sejarah adalah ilmu yang bertugas menyelidiki perubahan-perubahan, kejadian-kejadian, dan peristiwa yang merupakan realitas masa lalu. Begitu juga dengan Beneditto Croce, ia mengartikan sejarah adalah cerita yang menggambarkan suatu pikiran yang hidup tentang masas lalu. Pada intinya keduanya mempunyai pandangan yang sama dalam menelaah sejarah, hanya saja versi tulisannya saja yang berbeda.
Tak bisa saya membayangkan, bagaimana seandainya di bumi ini tanpa ada seorangpun yang sudi menulis ?, tentunya, apa yang nanti yang akan kita baca. Yang pasti proses pembelajaranya dengan melalui lisan, pertanyaanya, bagaimana dengan otak kita? masih mampukah menyimpan ribuan bahkan milyaran ilmu sedangkan setiap menit manusia di hadapkan pada kesemrawutan ekonomi dan masalah-masalah lainya. Dalam hal ini, saya pribadi berkesimpulan bahwa sejarah memang suatu hal yang amat penting di pelajari untuk mengahadapi situasi dan kondisi di masa yang akan datang.
Di Edisi kali ini saya mencoba akan menuliskan kembali tentang apa yang sudah kami proses sebelumnya ( Metode shering dan mencari nara sumber yang tepat serta dengan membuka lebar-lebar jangkauan dan relasi ). Sebagai referensinya llhasil, sebagai berikut :
- Mengacu pada pembangunan Stasiun Jember, Kreongan sudah ada sejak tahun 1897. Mengingat bahwa letak stasiun berada pada wilayah Kreongan.
- Pada tanggal 6 Sepetember 2015, saya pernah menulisnya sebelumnya di Blog saya, Katreka.blogspot.com. Tentang rumah pertama yang ada di daerah Baratan, yaitu rumah milik Mbah Sakidun Salikoh ( Petinggi Desa Baratan pertama ) yang didirikan pada tahun 1830. Waktu itu, Kreongan termasuk wilayah kekuasaanya.
Di atas adalah dua catatan saya pribadi sebagai patokan bahwa adanya Kreongan sekitaran tahun 1830 - 1897. Patokan pertama ( stasiun, 1897 ) informasi saya dapatkan di Ensiklopedia Jember sedangkan catatan kedua ( Rumah petinggi, 1830 ) saya dapatkan dari hasil tanya jawab dengan Eyang Sukmini, putri dari Eyang Merto ( anak ke empat dari Mbah Sakidun Salikoh ) Usia Eyang Sukmini sekarang 103 tahun. Daya ingatnya masih terbilang kuat, terakhir kami menjumpainya saat beliau berjemur di depan rumah miliknya.
Asal usul nama Kreongan, ...
- Nama Kreongan sendiri berasal dari Ngreong dalam bahasa Maduranya yang berarti Ramai.

Sampai disini tulisan dari saya. Selamat membaca dan berngopi-ngopi ria ...
Berikut photo, Buyut Satria ( Babat alas bumi Kreongan ) yang terletak di belakang stadion Noto Hadi Negoro, Kreongan, yang di jepret pada tanggal 8 Oktober 2016. 1:29 oleh saudara Refsi Eroska. Makam Buyut Satria untuk bahan tulisan selanjutnya .





Dokumen.pribadi. Makam Buyut Satria.


Selasa, 18 Oktober 2016

Bulan Purnama


Tanggal 15-17 Oktober 2016.

Dari bilik cendela kamar aku melihat bulan itu tampak tak bergairah. Sinarnya tak seperti malam-malam sebelumnya yang memancarkan dengan terangnya. Sekilas aku ingat ucapan Kakekku, dulu sewaktu aku kecil dia pernah bilang, " iku bulan gerring jenenge. Itu bulan sakit namanya" katanya padaku. Ow, bulan saja bisa sakit apa lagi manusia ya ?, gumamku dalam hati.

Waktu itu aku masih usia enam tahunan, tahu apa aku tentang bulan gerring ?. Dunia anak-anak selalu saja dengan gampang menerima suatu hal yang aneh-aneh. Jika pas ada yang bilang pasti ia menjawab "Oh atau Hmm ", yah itulah dunia anak-anak, tiada bisa membedakan bulan sakit atau bulan waras, yang mereka tahu " kalau bulat muncul di malam hari itu bulan, gak ada lagi ".

Sebenarnya bulan gerring atau bulan sakit itu kan  hanyalah istilah orang zaman bahula. Orang tua zaman dulu sangat peka dalam kondisi, padahal tujuannya agar supaya anak tidak ngelamak sama siapa saja. Semisal begini, " Lek mangan ojok nok lawang, atau lek longgoh ojok nok bantal, atau bla...bla...bla... ".

Dalam hemat saya, ketika bulan gerring datang, adalah mempunyai makna agar supaya si anak tidak keluyuran pada malam hari, dengan maksud anak di harapkan diam dirumah membantu pekerjaan orang tua atau agar tidak capek di keesokan harinya waktu hendak beraktivitas. Itu fersi saya memaknai bulan gerring.

Dalam catatan yang lain menyebutkan bahwa bulan purnama adalah dimana bulan terlihat bundar utuh. Masa purnama adalah masa dimana seluruh kehidupan di bumi di pengaruhi sampai ke titik puncaknya, dalam arti yang masa baik dan masa buruk.

Duh, saya bingung sendiri ya...

Dari pada bingung-bingung, di bawah ini saya akan lampirkan satu buah gambar yang di Jepret oleh Pak Imam Z Belalang Tempur ( nama akun facebook ) pada tanggal 17 Oktober 2016. 19.00. Ia mengirimkan gambar bulan di kolom komentar yang ada di facebook saya, M Budi Hartono.


Dokumen Pribadi. 17 Oktober 2016. 
Hasil karya Pak Imam Z Belalang Tempur ( seorang photografer dari bumi Kalisat )


Kamis, 13 Oktober 2016

Seniman Batik Jember


- Seniman batik di Desa Kreongan -
Batik merupakan hasil kreatif para seniman. Di Jember sendiri sepengetahuan saya ada dua rumah batik, di antaranya Batik Rolla dan batik Sumber Jambe, tepatnya di Desa Sumber pakem, Kecamatan Sumber Jambe dan Desa Kreongan, kelurahan Jember Lor, Kecamatan Patrang.
Sejarah batik belum pernah tercatat sejak kapan awal mula kegiatan membatik di Jember di mulainya. Tapi yang jelas pada tahun 2010 produsen batik Rolla mengangkat kembali motif batik Jember.
Kolaborasi motif tembakau, kopi dan kakao adalah sebuah motif yang di ambil dari icon Jember, mengingat bahwa tembakau Jember telah terkenal sampai manca negara.
Di Kreongan sendiri rumah produksi batik sudah banyak yang mengetahui baik wisatawan luar maupun dalam.
Nah, buat kawan-kawan yang ingin belajar membatik atau hanya sekedar ingin tahu lebih jelas bagaimana proses membatik, bisa langsung datang di Jalan Mawar, di Dusun Kreongan, Kelurahan Jember Lor, Kecamatan Patrang, Kabupaten Jember, Jawa Timur Indonesia.

Dokumen Pribadi. Batik Jember 13 Oktober 2016. 14.15 WIB



Catatan singkat Moch. Sroedji


- Obrolan semalam bersama Ayah Tilud -
Semalam Unyil Kpj menemani saya di Kreongan, dengan mengendarai motor Honda setengah lawas, kami menyusuri jalan yang remang-remang, Di sebuah gang persis di depan sumermarket beberapa kawan lama disana cangkrok dan menyapa mungkin mereka sudah menghabiskan bercangkir-cangkir kopinya di sebuah kedai yang sederhana. Ya, sepertinya kedai itu suatu tempat yang cocok dan ternikmat untuk menikmati malam yang sedikit berhawa dingin.
Singkat cerita, ...
Banyak cerita yang saya ambil darinya, dari kisah perjalanan hidup yang penuh banyak warna, juga mengenai beberapa akun facebook yang lagi di gencarkan, juga tentang perjuangan serta bangunan-bangunan jaman bahula, juga sampai obrolan berat mengenai supranatural.
Obrolan bertempo paling lama semalam tentang kisah pejuang, kepahlawanan. Entah sudah berapa batang rokok yang kami hisap sampai tak terasa waktu menunjukan pukul dua belasan.
Kira-kira begini salah satu obrolan saya dengan Ayah Tilud semalam ...
" Oia, Mas, Di tunjung kan ada makamnya Moch. Sroedji, kenapa kok gak di tulis ? " tanya Ayah Tilud singkat sembari menyulut sebatag rokok lagi yang masih utuh, kedua matanya memandang saya tajam-tajam menembus cahaya remang di ruang tamunya.
Sejenak saya terdiam sambil merunut apa yang di ungkapkannya. Sementara bibir saya masih aktif menghambur-hamburkan asap rokok yang sebelumnya saya hisap dalam-dalam. Ayah Tilud mengejutkan lamunanku dengan mengkisahkan Bapaknya yang sudah di pundut Gusti Allah beberapa tahun yang lalu.
" Bapak saya juga pernah ikut perang Mas, waktu itu Bapak hanya bercerita pendek tentang pengalaman yang di alaminya pada saya. Sambil menunjuk paha kanannya yang sempat tertembak dia bilang begini, -Iki loh le biyen bapak kenek tembak ikine, biyen tau bolong tapi syukur Bapak sek di ke'i umur dowo " Begitu kiranya Ayah Tilud melanjutkan ceritanya menirukan bahasa Bapaknya.
Begitu cerita di atas, semalam bersama Ayah Tilud.
Ayah Tilud sedikit ada catatan singkat yang pernah saya tulis di buku harian saya. Sebuah catatan hasil belajar yang saya ambil dari beberapa catatan-catatan yang ada dan saya merangkumnya.
Maaf sebelumnya jika tulisan saya kali ini sedikit panjang dan melebar.
- Moch. Sroedji putra ke 2 dari pasangan Amni dan Hasan ( Bupati Bangkalan )
- Moch Sroedji lahir di Bangkalan tanggal 1 February 1915.
- Mempunyai saudara namnya : Zubaidah, Mardiyah, Fatimah, dan Aminah.
- Tanggal 28 September 1939, Moch. Sroedji menikah bersama Rukmini ( Putri dari Bapak Tajib dan Ibu Muryam )
- Tinggal di Kreongan di antara tahun 1938 - 1943 dan kerja sebagai mantri di RS Paru-paru, Jember.
- Meninggalkan Jember dan ikut pendidikan PETA ( Pembela Tanah Air ), tanggal 15 Oktober 1943.
- Setelah lulus pendidikan PETA, Moch Sroedji kembali ke Jember dengan gelar Chwdan Choo = Perwira menengah PETA.
- Moch. Sroedji membentuk Daidan atau Batalyon.
-Moch Sroedji menjabat sebagai Komandan Batalyon Sroedji Resimen IV / TKR Divisi VII Untung Suropati yang berpusat di Kencong. Divisi alap-alap di Kencong.
- 8 February 1949 Gugur di Karang kedawung, Mumbulsari. Jenazah di bawa ke Kreongan oleh KH. Ahmad Dahnan dan selanjutnya di makamkan. ( Sebelum di bawa ke Kreongan mayat Moch. Sroedji di seret 40km dari Mumbulsari ke alun-alun Jember, dan di sembunyikan oleh Belanda sebelumnya di hotel Jember ).





N/b : Makam Let.Kol Moch Sroedji, dapat Anda jumpai di pemakaman umum di daerah Tunjung, Kreongan.





Berikut saya lampirkan foto makam Moch. Sroedji, yang saya jepret pada tanggal 26 Januari 2016, 15:38 WIB.




Dokumen.Pribadi. 26 Oktober 2016.

Dokumen. Pribadi. 26 Oktober 2016.

Dokumen. Pribadi 26 Oktober 2016.





Angkot Jurusan Kreongan

- Lin C -

" Mon entarah ka compok empian nompak lin C beih, ngocak ka sopir toron Pabrik Es nekah gih ..." Begitu kata saya dulu pada Bapak teman saya. 

Akses menuju Kreongan sekarang tidak begitu sulit seperti zaman dulu sewaktu saya masih SMP. Seingat saya, angkutan umum seperti ellin ( kata orang Madura ) sulit di jumpai, atau mungkin ellin baru masuk Kreongan setelah tahun 1999/ 2000 an atau bisa jadi masa - masa sekolah saya itu yang memang udik. hehe ...

Selain Lin C, Anda juga dapat menggunakan Lin P , Jalur yang di lewatinya sama, hanya saja jika Lin P di mulai dari terminal Ajung sedangkan Lin C dari terminal tawang alun, yaitu dari Terminal Tawang alun terus lurus melewati alun-alun kota, sampai di pertigaan SMP 2 lin akan belok kiri menju jalur satsiun kota, sampai di pertigaan pasar contong, lin belok kiri lalu belok kanan melewati rel kereta api terus lurus sampai menuju perumnas yang sebelumnya melewati rumah sakit Dr. Soebandi.

Perlu di ketahui, di sepanjang jalan Mawar dan Nusa Indah itulah Anda akan melihat deretan toko-toko dan rumah-rumah penduduk Kreongan yang kini tampak semakin padat. Sebuah Dusun kecil yang menyenangkan.

Selamat Jer- aglejeran di Kreongan.


Di bawah ini adalah angkutan umum jurusan Kreongan.  Photo saya ambil dari goggle, tanggal 13 Oktober 2016.


Senin, 10 Oktober 2016

Menengok Peninggalan Belanda

- Kampung puteran, Kreoangan -

Jika Anda berkunjung di kampung saya, tepatnya di belakang SMP 10 Jember, di situ dapat di jumpai bangunan tua peninggalan Belanda, warga di kampung saya menyebutnya puteran.

Puteran di bangun bersamaan dengan stasiun Jember yaitu pada tahun 1897. Pada tahun 1910 puteran mengalami perbaikan diatasnya, tepat pada tempat untuk memutar arah lokomotif. Memang yang saya tahu bangunan ini berfungsi untuk memutar arah lokomotif sampai sekarang.

Beberapa hari yang lalu tepatnya pada tanggal 8 Oktober 2016 sore hari, saya meyempatkan diri bermain-main di situ, tempat dulu saya dan teman-teman bermain pak tekong dan gobak sodor di setiap sore.

Lagi iseng-isengnya, saya mendapati angka-angka yang tertera pada badan rel.

Pada rel yang melingkar dan berfungsi sebagai lintasan untuk memutar lokomotif tertera tahun 1913. Sedangkan rel di atas yang berfungsi sebagai lintasan lokomotif atau rel lurus tertera tahun 1919. Saya tidak begitu paham apakah kedua tahun itu ( 1913 dan 1919 ) menandakan penempatan dan rampungnya rel atau tahun dimana rel tersebut di produksi.

Dokumen pribadi. Rel kereta
8 Oktober 2016, sore hari.




Jejak kaki pada lantai ...

Pada lantai saya juga menemukan jejak-jejak kaki tanpa menggunakan alas kaki ( sandal, sepatu ), di perkirakaran jejak kaki ini adalah jejak kaki para kuli yang ikut dalam proses pembangunan puteran tersebut dan juga di perkirakan sudah berusia seabad lebih usianya mengingat sampai saat ini ( 1897- 2016 ) kondisi lantai belum sama sekali di rehabilitasi .

Dokumen. pribadi. Jejak kaki para kuli 
8 Oktober 2016, sore hari.

Dokumen pribadi. Jejak kaki para kuli
8 Oktober 2016, sore hari


Kolong air ...

Ada juga kolong air, yang berfungsi sebagai pencegah dari genangan air agar tidak banjir. Menurut warga setempat, kolong ini mempunyai panjang -+ 1km dan berujung pada sungai bromo ( di kawasan Ponpes Darussalam )

Dokumen pribadi. Kolong air.
8 Oktober 2016, sore hari.


Mengenai penamaan Kampung Puteran,

Sebelumnya kampung saya bernama Wonorejo, entah saya tidak tahu sejak kapan Kampung saya, banyak orang kini lebih mengenalnya Kampung Puteran. Sepengetahuan saya kenapa ada Kampung Puteran, karena di tengah-tengah kampung saya ada puteran lokomotif. Mungkin dari situ istilah Kampung Puteran sampai saat ini menjadi salah satu icon di kampung saya.
Sepertinya sekian dulu tulisan saya mengenai sejarah Kampung Puteran. Dimana suatu kampung kecil yang menyenangkan.
Sangat indah jika sore hari cangkrok disini sambil menikmati secangkir kopi.
Photo di jepret pada Hari Jum'at, tanggal 8 Oktober 2016, 22:34.

Dokumen pribadi. Nostalgia di kampung
8 Oktober 2016, sore hari.

Situs Batu Kenong di Desa Kreongan

Selamat sore Sahabat Kreongan ...

Masih seputar mengenai tentang sejarah yang ada di Desa Kreongan. Kali ini mengenai situs batu kenong .
Tidak dapat di pungkiri bahwasanya masih banyak dari kita yang belum mengetahui " apa " batu kenong itu.

Dalam catatan yang ada, batu kenong adalah sebuah batu yang berbentuk silender atau membulat yang mempunyai tonjolan di puncaknya. Menariknya batu ini seperti bentuk alat musik gamelan seperti kenong.

Batu ini berasal dari tradisi Megalitik di Nusantara.

Megalitik dari kata-kata, mega yang berarti besar dan lithos berarti batu. Jadi megalitikum dapat di sebut juga zaman batu besar, karena pada zaman ini dimana manusia sudah dapat membuat dan meningkatkan kebudayaanya yang terbuat dari batu-batu besar.

Catatan dalam versi yang berbeda, batu ini menandakan adanya atau tanda-tanda suatu peradaban manusia. Di perkirakan batu ini adalah dari peninggalan Kerajaan Majapahit.

Adapun fungsi dari batu kenong ini banyak versi, salah satu fungsinya adalah sebagai persembahan kepada nenek moyang dan menjadi pemujaan yang di buat sekitar abad X-IX M ( puslit arkenus ). Jenis tonjolan pada batu kenong mempunyai fungsi yang berbeda, contoh, tonjolan 1 adalah sebagai tanda tempat penguburan, sedangkan tonjolan 2 menandakan sebagai ompak-ompak atau alas bangunan kayu.

Batu ini dapat pula di jumpai di Desa Kamal, yaitu situs Domplang. RZ Hakim ( sejarawan Jember ) juga pernah meuliskan batu kenong dikawasan Desa Kamal tersebut yang hingga kini masih terawat dan di jaga keberadaanya di pelataran ruumah warga, Mbak Nini namanya. Pertengahan tahun 2015 yang lalu saya juga menyempatkan diri berkunjung disana, hingga pernah menuliskan sebelunya pada facebook saya . Batu-batu disana terawat baik sekali.

Di Desa Kreongan sendiri keberadaan batu kenong berada di belakang sebelah utara stadion Noto Hadi Negoro ( stadion lawas ) tepatnya di belakang kantor Dinas Pendidikan. Selain itu dapat di jumpai pula peninggalan-peninggalan sejarah lainya yang sampai saat ini masih terawat dengan baik di Musium bumi Jember.

Jangan lupa bagi kawan-kawan yang datang dan ingin melihat lebih jelas, satu pesan buat kita semua, jaga kelestarianya.

Sekian tulisan dari saya semoga bermanfaat.

Di bawah ini saya lampirkan beberapa photo tentang batu kenong yang saya jepret pada tanggal 8 Oktober 2016, siang  hari.

Dokumen pribadi. photo Batu Kenong

Dokumen. pribadi. Plang Cagar Budaya

Dokumen .pribadi. Plang Himbauan pengunjung.

Dokumen pribadi. Situs Batu Kenong di Desa Kreongan

Dokumen.pribadi. Situs Batu Kenong di Desa Kreongan


Dokumen. pribadi. Berkunjung di situs Batu Kenong, desa Kreongan

Kamis, 06 Oktober 2016

JOGJA DI SUATU SORE


Kegembiraan itu sirna seketika aku menginjak tanah Jogja, sebuah kota yang kaya sejarah tetapi kali begitu sepi. Debu-debu dari semburan Gunung Merapi melumpuhkan berbagai lini. Tak ada waktu aku bercengkerama dengan titik nol kilometer, dimana, di situ tempat aku menunggu kawan-kawan relawan yang menyambut kedatanganku. Jogja di tahun 2010 memberikan jejak-jejak yang perlu aku tulis.

Kedatanganku di sambut dengan awan gelap. Ya, Jogja kali ini di selimuti awan gelap yang pekat. Disepanjang trotoar Malioborro masih tampak sepi. Sore hari yang sedikitt mencekam, ssepanjang jalan hanya terdengar sirine ambulan yang mondar-mandir sedang membawa korban, entah bagaimana nasib orang itu aku tak begitu tahu persis sebab terhalang kaca hitam yang tertutup rapat. 
Seorang remaja bertatto di lengan kirinya menyapaku dengan ramah penuh santun atau karena ia tahu bahwa aku bukan orang pribumi yang sedang kebingungan. Ia berambut gondrong berombak, kulitnya sawong matang berbaju putih lusuh bercelana jins sepertinya ia jarang mandi dan ganti pakaian atau mungkin pakaian itu satu-satunya yang ia cintai.  Kedua dengkulnya menonjol dari celananya yang bolong-bolong.
" Kulo Sulaiman " Ia mengenalkan diri ketika kami berjabat tangan.
" Mas mau kemana, orang-orang sini ora pada keluar Mas, soalnya abu vulkanik masih tebal " tanyanya lagi. duh sopan sekali Mas Sulaiman ini, kataku dalam hati. Posisi kedua tangannya menelungkup di bawah pusar.

Aku meresponya dengan senyuman, " Saya mau ke pos pengungsian Mas, saya dari Jember " jawabku singkat. Obrolan kami tak begitu lama sebab waktu sudah mulai sore. 

Hujan turun begitu lebatnya, dari kejauhan tampak sebuah mobil pick up melaju menghampiriku. Waktu itu aku berteduh di gedung BNI. Mobil berhenti beberapa meter saja dari tempatku berteduh. Di atas pick up ada tiga orang, satu menemani sopir yang satu lagi berdiri dengan berbasah kuyup di belakang.Keduuannya sama-sama berbambut gondrong, duh kenapa orang Jogja gondrong-gondrong ya, batinku berucap.

Jogja memang kota Seniman, ini yang aku tahu dari guru esempeku. Lantaran guruku itu, aku mempunyai rasa cinta dengan kota ini. Tetapi, kali ini kedatanganku sedikit mengecewakan, rencana awal kedatanganku adalah ingin belajar lebih dalam tentang seni lukis, tapi luput dari perkiraan, Jogja waktu itu di rundung bencana.  Kedatanganku dua hari setelah meletusnya Gunung Merapi, pupuslah sudah rencana awalku ini. 

Abas, remaja gondrong berbadan ceking itu menyambut kedatanganku. Ia menjemputku setelah aku menghubungi ponselnya.Hanya sejenak kami ngobrol, mengutarakan maksud kedatanganku yang melesat dari rencana awal.

Hari mulai gelap adzan Magrib berkumandang, aku masih leyeh-leyeh di teras posyandu yang di sulapnya menjadi pos pengungsi oleh warga desa Soragan sehari sebelum aku tiba. Di situ, di sore itu baru aku menyadari aku berada di tengah-tengah warga yang terkena bencana. Mereka pengungsi dari desa Kepuharjo.
Pinje, lelaki yang baru kenal menemaniku. Tak terasa obrolan kami menembus adzan Subuh dari corong toa musholla yang tak begitu jauh dari pos pengungsi.

dokument. pribadi 2010
 

Selasa, 27 September 2016

- Gotong royong pemuda desa Soragan -



Sepanjang jalan desa Soragan yang sepi. Hampir sebulan ini jalan raya di kawasan Jogja memang jarang ada yang berkendaraan. Kalaupun ada yang terlihat hanyalah ambulan atau truk-truk milik tentara yang berseliweran membawa berbagai macam bantuan logistik, bantuan dari luar kota yang nantinya di bagi ke pos-pos pengungsian untuk didistribusikan ke tiap pengungsi. Atau kalau tidak, mesti terlihat pickup yang mesti membawa beberapa relawan yang hendak bergantian tugas di titik darurat.

Di pos kami sering juga kedatangan bantuan dari berbagai penjuru, dari komunitas, organisasi ataupun instansi. Biasanya mereka mengirimkan kandidatnya untuk mendampingi barang-barang yang mereka bawa. Setibanya, kami memaparkan secara detail tentang kondisi sebelum dan sesudah bencana. Aku yang waktu itu mengemban tugas berat yaitu sebagai koordinator logistik posko, dengan secara otomatis hampir di setiap waktu aku di hadapkan dengan berbagai macam karakter tamu yang berkunjung di posko kami. Duh, aku di buatnya sibuk.

Dua hari setelah kedatanganku, sebagian besar dari mereka masih remaja berbondong-bondong menuju pos kami. Waktu itu gerimis mengguyur kota Jogja dan sekitarnya lebih dari dua hari lamanya. Di suatu sore tanggal 7 November 2010 pukul 4.46 kami mendirikan terop persis di depan gedung yang biasa di gunakan untuk pertemuan masyarakat desa Soragan. Jumlah pemuda-pemuda itu lebih dari dua puluhan orang, usiaku paling muda di banding pemuda-pemuda itu tetapi keakraban kami tiada batas usia, tiada batas aku seorang dari luar kota yang datang jauh dari Jawa timur. 

Mendirikan terop cukuplah memakan waktu yang agak lama, sebab selain kondisi kami di guyur gerimis salain itu kami sering kali terpeleset di lantai paving yang licin akibat abu vulkanik." Cuacane ora bersahabat " kata seorang kawan nyelutuk. Meski demikian tawa riuh terdengar sehingga apapun situasinya waktu itu tak sedekitpun menyurutkan semangat kami mendirikan terop untuk pos pengungsi erupsi Gunung Merapi.

Jerry yang akrap aku panggil Jheki sesekali mengibas-ibaskan rambutnya yang gondrong bergelombang begitupun Abas, keduanya sama - sama berambut gondrong yang memiliki karakter yang hampir sama. " Dalam menjalani hidup, membuat suatu karya dan tolong- menolong itu harus di utamakan. Sebab tanpa membuat sebuah karya dan suka menolong otak kita gak mungkin bisa mikir " kata Jerry dan Abas, keduanya berkata demikian sambil cekikan.

Sebenarnya di dalam gedung, di pos kami itu sudah ada beberapa pengungsi yang sudah hampir sebulan lamanya tinggal . Waktu itu kami yang menjemputnya di sewaktu mereka di stadion meguwo. Bayangkan saja, waktu aku ikut menjemput pengungsi, aku melihat 5000 orang berjubel-jubel di bawah tribun stadion, suatu pemandangan yang miris. Stadion penuh dengan banyak orang yang nasibnya tak berbeda jauh, sama-sama kehilangan ternak, kebun, sanak saudara bahkan perekonomian mereka lumpuh total lantaran dampak dari abu Vulkanik yang menghujani rumah-rumah mereka.

Mendirikan terop sudah berlalu. Tinggalah kami kali ini mengatur managamen keposkoan. Gerimis masih mengguyur kota Jogja dan sekitarnya. Sepanjang jalan Soragan sudah menampakkan aspal, itu bertanda abu vulkanik sudah mulai menepi terbawa rintik-rintik hujan melewati parit-parit yang mengapit badan jalan. 




dokumen pribadi.  7 November 2010

dokumen pribadi,  7 November 2010

Selasa, 19 Juli 2016

HAI, TEACHER

I do not quite understand this locomotive manifold what, a locomotive engine steam in production in 1917 in the UK. 

In Jember own locomotive has existed since 1897, which is said by history locomotive when it serves as the transportation of crops route of Jember towards Panarukan -Situbondo.

Talk locomotive steam engine of course, we remember with Richard Trevhithick man born in England. History wrote in 1804 he was the inventor of the steam locomotive. Hehe, not least the history books as elementary-high school I was missing, I wrote here just remembered sekena head alone. It could be history teachers who happen to my school still often chat inbok in my account jentiknya finger when reading this article.Hehe, advised Mr. / Mrs many books were sold, would many science separated from my brain.

my documant. budi hartono 


Selasa, 12 Juli 2016

- KABAR KAWANKU WAKTU DI GARUT -


 " Siap ndan di sini susah males ajak2 kalau cuma ga di jawab ga ada tangapan mending jalan sendiri ndan...biarkan mereka tergerak ikut setelah iba melihat perjuanganku ndan...merubah kesadaran menjadi tindakan dengan contoh tindakan nyata itu prinsip saya ndan...untuk saat ini saya masih aktif kalau bibit ada ndan makanya di bilang oranh gila kurang kerjaan...hihihi itu malah nambah suplemen untuk terus bergerak ndan,,,di sini saya terkendala bibit ndan makanya bener2 berharap kalau di buatkan penyemaian..." Begitu Agus kawan saya mengungkapkan isi hatinya lewat inbok di akun facebook saya.

Agus Tepe, nama yang singkat tetapi tak sesingkat  impian-impianya. Alam baginya adalah suatu yang teristimewa. Hingga suatu hari ia mempunyai impian untuk menjadikan alam ini kemabli seperti di zaman bahaula, yang terkenal dengan kelestariannya.Di mana Indonesia adalah negeri terbebas polusi ke dua setelah Negeri Matahari, Jepang. 

Pertumbuhan manusia yang cepat meningkat menurut statistik per tahunya, membuat manusia juga semakin berdominan dengan kebutuhan yang di peroleh dengan menghalalkan segala cara. Pertambangan, penebangan pohon dengan skala besar tanpa di imbangi pembibitan sehingga Indonesia dalam dekade ini mempunyai gelar " negeri gudangnya bencana ". 

Tak bisa di pungkiri, manusia sebagian besar kali ini lupa akan alamnya. Bahwa alam adalah tempat bermukim sampai akhir khayat. Akibatnya, jika banjir datang, tidak sedikit dari manusia-manusia bijak terkena imbasnya, rumahnya tenggelam banjir, sawahnya tinggal separuh akibat tanah di gerus oleh banjir, dan itu pasti, sebab banyak pohon-pohon di bantaran sungai yang di tebang tanpa ampun yang di jadikan pemukiman. 

Wah, ini yang membuat kawan saya bangkit dari tidurnya. Ia lebih memilih menanam dari pada harus ongkang-ongkang di teras sambil menyuruput kopi hangatnya. Hebat dan salut saya akan perjuangannya.

Sekarang, ia bergabung dengan sebuah team yang bergerak di bidang penanggulangan bencana. Yah , semoga saja kawan saya yang satu ini selalu di beri kemudahan atas perjuanganya .
I like U bray ...
 
dok.men. pribadi. Agus Tepe ( nama akun facebook )



Sabtu, 18 Juni 2016

HANYA SECANGKIR KOPI

" Sudah sejauh mana kaki ini melangkah, seudah tak terhitung berapa jumlah langkahnya, berapa lembar uang terbuang begitu saja, sedangkan aku semakin tua. Ah, inikah yang banyak orang katakan bahwasanya perjuangan sepekat kopi, sepahit rasanya jika tanpa berbaur dengan gula. Budi, kedepan apa yang kamu ingini ...? "

Budi seorang anak lelaki yang terlahir dari pinggiran kota, di suatu daerah yang menjadi perbatasan dua kota. Ia tak ingat lagi kapan dan dimana tempatnya pertama kali ia menghirup udara di planet ini, sebab ia sibuk dengan sendirinya menelaah arti hidup hingga ia beranjak dewasa. 

Terlahir dari seorang Bunda yang tangguh, dimana sang Ibupun tak tau tempat ia sendiri di lahirkan. Jika ak bertanya dimana kedua orang tuanya yaitu Kakek dan Nenekku ia hanya berucap mungkin..mungkin...dan mungkin " Bapakku berasal dari Kalimantan Timur dan Ibuku dari ujung Timur Pulau Jawa, Banyuwangi ".

Sang Ibu yang tak pernah mengenal huruf-huruf abjad, dan Aku waktu itu masih berusia belia. Yang aku tahu Ibuku bukan seorang pemalas itu saja. Ibuku perempuan penurut, hingga di suatu massa ia sadar bahwa hidup amatlah penting untuk mengetahui rangkaian-rangkaian huruf, miris sekali aku melihatnya, yang ia tahu hanyalah rangkaian angka-angka yang tertera pada lembaran-lembaran kertas rupiah. Ya, hanya huruf dan angkalah yang membuat ia semakin lama semakin membuatnya lebih tangguh dari sebelumnya.Hidup tanpa membaca, bagaimana yang ia rasakan sedangkan dunia ini penuh dengan kalimat-kalimat sakti yang kebanyakan orang di bawanya untuk mengusai duniawi.Dengan tanpa bisa membaca Ibuku hanyalah seorang yang peraba.

Kini Budi sudah besar. sudah pandai menulis dan merangkai kata-kata meski terkadang tak bagus di baca. Anak yang terlahir di perbatasan, yang jauh dari hiruk pikuknya kota. Ia mempunyai cita-cita dan harapan setinggi rasio bintang penghias langit di waktu malam. Sebenarnya ia sadar, bahwasanya hidup bukanlah semanis segelas susu yang di sruput oleh Tuan-tuan penguasa Indonesia, ia sadar bahwasanya hidup tak jauh beda dengan secangkir kopi yang berwarna pekat dan terasa pahit tanpa berbaur dengan gula.Tapi ia juga sadar bahwa kopi di butuhkan berjuta-juta manusia yang tersebar di bumi ini.

Di suatu ketika ia bertanya pada langit yang cerah, diatas bukit yang tinggi dan juga ia menanyakan pula pada batu-batu besar di sekitarnya yang menurut kebanyakan orang bahwa semua yang ada di bumi juga berinteraksi. Ia sering kali bertanya pada tasbih yang berputar di antara jari-jarinya, pada sajadah yang sebagai alasnya dan pada kubah masjid yang penuh kesucian.

Lalu Aku bertanya, " Hai, Tuhan, sebagai apa aku hidup di bumi-Mu ? ."

Tak terasa lama sudah aku berpijak di sini. Untuk kedepan masih kuatkah menerima segala cobaan-cobaanMu ?.Sedangkan dewasa ini aku masih belum meraih apa-apa. 

n/b : Catatan dari sebuah buku harianku.- photo di ambil dari akun facebookku.


Budi.-Dokumen pribadi- Puncak bukit J88, Jember.

Budi- Dokumen pribadi- Puncak J88, Jember.

Sabtu, 21 Mei 2016

- Dan..., aku di atas bukit itu -


Kerlap-kerlip lampu jauh di bawah bukit. Aku memandangnya dari puncak. Duduk di batu berbalut kain kalomar biru di kepala.
  
Lampu kota.
dokumen. pribadi. di atas bukit J88. 2016

dokumen pribadi. bukit J88 . 2016