Selasa, 27 September 2016

- Gotong royong pemuda desa Soragan -



Sepanjang jalan desa Soragan yang sepi. Hampir sebulan ini jalan raya di kawasan Jogja memang jarang ada yang berkendaraan. Kalaupun ada yang terlihat hanyalah ambulan atau truk-truk milik tentara yang berseliweran membawa berbagai macam bantuan logistik, bantuan dari luar kota yang nantinya di bagi ke pos-pos pengungsian untuk didistribusikan ke tiap pengungsi. Atau kalau tidak, mesti terlihat pickup yang mesti membawa beberapa relawan yang hendak bergantian tugas di titik darurat.

Di pos kami sering juga kedatangan bantuan dari berbagai penjuru, dari komunitas, organisasi ataupun instansi. Biasanya mereka mengirimkan kandidatnya untuk mendampingi barang-barang yang mereka bawa. Setibanya, kami memaparkan secara detail tentang kondisi sebelum dan sesudah bencana. Aku yang waktu itu mengemban tugas berat yaitu sebagai koordinator logistik posko, dengan secara otomatis hampir di setiap waktu aku di hadapkan dengan berbagai macam karakter tamu yang berkunjung di posko kami. Duh, aku di buatnya sibuk.

Dua hari setelah kedatanganku, sebagian besar dari mereka masih remaja berbondong-bondong menuju pos kami. Waktu itu gerimis mengguyur kota Jogja dan sekitarnya lebih dari dua hari lamanya. Di suatu sore tanggal 7 November 2010 pukul 4.46 kami mendirikan terop persis di depan gedung yang biasa di gunakan untuk pertemuan masyarakat desa Soragan. Jumlah pemuda-pemuda itu lebih dari dua puluhan orang, usiaku paling muda di banding pemuda-pemuda itu tetapi keakraban kami tiada batas usia, tiada batas aku seorang dari luar kota yang datang jauh dari Jawa timur. 

Mendirikan terop cukuplah memakan waktu yang agak lama, sebab selain kondisi kami di guyur gerimis salain itu kami sering kali terpeleset di lantai paving yang licin akibat abu vulkanik." Cuacane ora bersahabat " kata seorang kawan nyelutuk. Meski demikian tawa riuh terdengar sehingga apapun situasinya waktu itu tak sedekitpun menyurutkan semangat kami mendirikan terop untuk pos pengungsi erupsi Gunung Merapi.

Jerry yang akrap aku panggil Jheki sesekali mengibas-ibaskan rambutnya yang gondrong bergelombang begitupun Abas, keduanya sama - sama berambut gondrong yang memiliki karakter yang hampir sama. " Dalam menjalani hidup, membuat suatu karya dan tolong- menolong itu harus di utamakan. Sebab tanpa membuat sebuah karya dan suka menolong otak kita gak mungkin bisa mikir " kata Jerry dan Abas, keduanya berkata demikian sambil cekikan.

Sebenarnya di dalam gedung, di pos kami itu sudah ada beberapa pengungsi yang sudah hampir sebulan lamanya tinggal . Waktu itu kami yang menjemputnya di sewaktu mereka di stadion meguwo. Bayangkan saja, waktu aku ikut menjemput pengungsi, aku melihat 5000 orang berjubel-jubel di bawah tribun stadion, suatu pemandangan yang miris. Stadion penuh dengan banyak orang yang nasibnya tak berbeda jauh, sama-sama kehilangan ternak, kebun, sanak saudara bahkan perekonomian mereka lumpuh total lantaran dampak dari abu Vulkanik yang menghujani rumah-rumah mereka.

Mendirikan terop sudah berlalu. Tinggalah kami kali ini mengatur managamen keposkoan. Gerimis masih mengguyur kota Jogja dan sekitarnya. Sepanjang jalan Soragan sudah menampakkan aspal, itu bertanda abu vulkanik sudah mulai menepi terbawa rintik-rintik hujan melewati parit-parit yang mengapit badan jalan. 




dokumen pribadi.  7 November 2010

dokumen pribadi,  7 November 2010