Kamis, 06 Oktober 2016

JOGJA DI SUATU SORE


Kegembiraan itu sirna seketika aku menginjak tanah Jogja, sebuah kota yang kaya sejarah tetapi kali begitu sepi. Debu-debu dari semburan Gunung Merapi melumpuhkan berbagai lini. Tak ada waktu aku bercengkerama dengan titik nol kilometer, dimana, di situ tempat aku menunggu kawan-kawan relawan yang menyambut kedatanganku. Jogja di tahun 2010 memberikan jejak-jejak yang perlu aku tulis.

Kedatanganku di sambut dengan awan gelap. Ya, Jogja kali ini di selimuti awan gelap yang pekat. Disepanjang trotoar Malioborro masih tampak sepi. Sore hari yang sedikitt mencekam, ssepanjang jalan hanya terdengar sirine ambulan yang mondar-mandir sedang membawa korban, entah bagaimana nasib orang itu aku tak begitu tahu persis sebab terhalang kaca hitam yang tertutup rapat. 
Seorang remaja bertatto di lengan kirinya menyapaku dengan ramah penuh santun atau karena ia tahu bahwa aku bukan orang pribumi yang sedang kebingungan. Ia berambut gondrong berombak, kulitnya sawong matang berbaju putih lusuh bercelana jins sepertinya ia jarang mandi dan ganti pakaian atau mungkin pakaian itu satu-satunya yang ia cintai.  Kedua dengkulnya menonjol dari celananya yang bolong-bolong.
" Kulo Sulaiman " Ia mengenalkan diri ketika kami berjabat tangan.
" Mas mau kemana, orang-orang sini ora pada keluar Mas, soalnya abu vulkanik masih tebal " tanyanya lagi. duh sopan sekali Mas Sulaiman ini, kataku dalam hati. Posisi kedua tangannya menelungkup di bawah pusar.

Aku meresponya dengan senyuman, " Saya mau ke pos pengungsian Mas, saya dari Jember " jawabku singkat. Obrolan kami tak begitu lama sebab waktu sudah mulai sore. 

Hujan turun begitu lebatnya, dari kejauhan tampak sebuah mobil pick up melaju menghampiriku. Waktu itu aku berteduh di gedung BNI. Mobil berhenti beberapa meter saja dari tempatku berteduh. Di atas pick up ada tiga orang, satu menemani sopir yang satu lagi berdiri dengan berbasah kuyup di belakang.Keduuannya sama-sama berbambut gondrong, duh kenapa orang Jogja gondrong-gondrong ya, batinku berucap.

Jogja memang kota Seniman, ini yang aku tahu dari guru esempeku. Lantaran guruku itu, aku mempunyai rasa cinta dengan kota ini. Tetapi, kali ini kedatanganku sedikit mengecewakan, rencana awal kedatanganku adalah ingin belajar lebih dalam tentang seni lukis, tapi luput dari perkiraan, Jogja waktu itu di rundung bencana.  Kedatanganku dua hari setelah meletusnya Gunung Merapi, pupuslah sudah rencana awalku ini. 

Abas, remaja gondrong berbadan ceking itu menyambut kedatanganku. Ia menjemputku setelah aku menghubungi ponselnya.Hanya sejenak kami ngobrol, mengutarakan maksud kedatanganku yang melesat dari rencana awal.

Hari mulai gelap adzan Magrib berkumandang, aku masih leyeh-leyeh di teras posyandu yang di sulapnya menjadi pos pengungsi oleh warga desa Soragan sehari sebelum aku tiba. Di situ, di sore itu baru aku menyadari aku berada di tengah-tengah warga yang terkena bencana. Mereka pengungsi dari desa Kepuharjo.
Pinje, lelaki yang baru kenal menemaniku. Tak terasa obrolan kami menembus adzan Subuh dari corong toa musholla yang tak begitu jauh dari pos pengungsi.

dokument. pribadi 2010
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar