Jumat, 11 November 2016

Wajah Kreongan, 1965




Aku mungkin satu-satunya gadis dari saudara-sadaraku yang menyaksikan , dimana Bapakku waktu itu di paksa keluar dari rumah. Di tariknya lengan bajunya dengan posisi kedua tangannya terangkat. Padahal yang sebenarnya Bapakku adalah bukan sama sekali golongan yang menceng dari Pancasila. Aku tahu Bapak bukan orang jahat. Ia, hanyalah seorang putra desa yang istiqomah mendidik anak-anaknya untuk taat beribadah. Tapi Tuhan tak diam, beliau selalu memihak pada " benar ". Bapak terselamatkan dari berbagai tuduhan dan ancaman, sebab ia memang benar-benar dalam kebenaran. Tatkala hingga aku menjadi tua, menegakkan kebenaran adalah prinsip, agar kelak, jika aku mati, aku berada di ruang maha benar yaitu, sorga.
------------------------------------------------------------

" Dulih masok...! " kata Bapakku sembari menutup pintu.
Begitu kata Bapak menghardikku. Waktu itu aku masih berusia tujuh belas tahunan. Emak dengan spontan menarik lengan bajuku, aku di seretnya sampai ke pintu dapur. Aku di peluknya erat-erat, Emak hanya diam saat aku bertanya, Apa salahku. " Neng-neng tak osah bentah, diam gak usah bicara " kata Emakku dengan suara lirih agak berat.

Di suatu siang, aku di kejutkan dengan kedatangan segerombolan pemuda berseragam hijau-hijau menyanggul senapan laras panjang. Mereka berpencar menuju rumah-rumah tetanggaku. Waktu itu aku takut sekali disaat mereka menggedor pintu-pintu rumah yang tertutup rapat. Sebab apa mereka menggedornya aku tak tahu. Selang beberapa menit saja, di pelataran rumahku di buatnya ramai. Mereka berkumpul dengan  posisi kedua tangannya terangkat. Tahu apa aku waktu itu, dari balik cendela aku melihat Bapakku juga melakukan hal yang sama seperti tetangga-tetanggaku. Namun Bapak terlihat sedikit lebih tenang dari lainya, mungkin kebenaran memihaknya sehingga membuatnya lebih bengal. 

Ia memang seorang Bapak pemberani, berwatak keras, tegas. Di balik watak kerasnya sebenarnya ia adalah seorang Bapak yang baik hati dan terkenal dermawan.

Tidak sedikit para istri menangis histeris bahkan ada yang mengoceh-ngoceh gak jelas, mungkin dia merasa ketakutan yang teramat akut. Kira-kira setengah jam-an, bersama mereka Bapak di gelandangnya entah kemana. Mereka berbaris tiga, tiga, lalu berjalan dengan kedua tangannya tak lagi terangkat. 

Kabar berita itu datang sekitar habis adzan dhohor berkumandang. Nafasnya teratur, tenang dengan berpakaian baju koko putih mbulak , Kopiah putih yang membuatnya tampak berkharisma.
" Tak arapah Yu, nang-tenang beih, Kak Sura'i tak pa-rapah, sholawat beih se benyak. Gak apa-apa Mbak, tenang-tenang saja, Mas Sura'i gak apa-apa, bersholawat aja yang banyak" Pak Dahnan namanya, seorang Kiai dari kampung seberang megkabarkan. Darinyalah juga baru kami tahu bahwasanya di lapangan stadion pemerintah mengadakan perburuan besar-besaran bagi warga yang terindikasikan sebagai anggota partai berlambang palu arit itu.September 1965, dimana aku dihadapkan berbagai macam situasi yang mencekam. 

Tahun-tahun sudah terlewati, di suatu sore hari, ...
Obrolan kami menembus adzan Ashar. Penulis menyudahi kisahku di masa silam yang sudah lama sekali aku pendam dalam-dalam. Entah apa, kiranya aku seakan terdesak untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penulis itu, Budi namanya. Anak kelima dari tujuh bersaudara.

Budi, nama penulis itu, ia adalah anakku.

... Terima kasih saya ucapkan kepada Emak, pahlawanku yang tangguh. 

Biografi Emak...

Sri Hartatik namaku, lahir tahun 1948 di Srono, Banyuwangi, Jawa Timur.
Lelaki jangkung, Madsolekan nama Bapakku, berasal dari Kecamatan Kencong, Jember, Jawa Timur.
Senen, nama Ibuku berasal dari Srono, Banyuwangi. Sejak kecil aku dididik dan di besarkan oleh seorang dermawan, kedua pasangan itu adalah Sura'i dan Sulami, keduanya berasal dari Madura yang merantau dan menetap di Jember.


 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar