Sabtu, 18 Juni 2016

HANYA SECANGKIR KOPI

" Sudah sejauh mana kaki ini melangkah, seudah tak terhitung berapa jumlah langkahnya, berapa lembar uang terbuang begitu saja, sedangkan aku semakin tua. Ah, inikah yang banyak orang katakan bahwasanya perjuangan sepekat kopi, sepahit rasanya jika tanpa berbaur dengan gula. Budi, kedepan apa yang kamu ingini ...? "

Budi seorang anak lelaki yang terlahir dari pinggiran kota, di suatu daerah yang menjadi perbatasan dua kota. Ia tak ingat lagi kapan dan dimana tempatnya pertama kali ia menghirup udara di planet ini, sebab ia sibuk dengan sendirinya menelaah arti hidup hingga ia beranjak dewasa. 

Terlahir dari seorang Bunda yang tangguh, dimana sang Ibupun tak tau tempat ia sendiri di lahirkan. Jika ak bertanya dimana kedua orang tuanya yaitu Kakek dan Nenekku ia hanya berucap mungkin..mungkin...dan mungkin " Bapakku berasal dari Kalimantan Timur dan Ibuku dari ujung Timur Pulau Jawa, Banyuwangi ".

Sang Ibu yang tak pernah mengenal huruf-huruf abjad, dan Aku waktu itu masih berusia belia. Yang aku tahu Ibuku bukan seorang pemalas itu saja. Ibuku perempuan penurut, hingga di suatu massa ia sadar bahwa hidup amatlah penting untuk mengetahui rangkaian-rangkaian huruf, miris sekali aku melihatnya, yang ia tahu hanyalah rangkaian angka-angka yang tertera pada lembaran-lembaran kertas rupiah. Ya, hanya huruf dan angkalah yang membuat ia semakin lama semakin membuatnya lebih tangguh dari sebelumnya.Hidup tanpa membaca, bagaimana yang ia rasakan sedangkan dunia ini penuh dengan kalimat-kalimat sakti yang kebanyakan orang di bawanya untuk mengusai duniawi.Dengan tanpa bisa membaca Ibuku hanyalah seorang yang peraba.

Kini Budi sudah besar. sudah pandai menulis dan merangkai kata-kata meski terkadang tak bagus di baca. Anak yang terlahir di perbatasan, yang jauh dari hiruk pikuknya kota. Ia mempunyai cita-cita dan harapan setinggi rasio bintang penghias langit di waktu malam. Sebenarnya ia sadar, bahwasanya hidup bukanlah semanis segelas susu yang di sruput oleh Tuan-tuan penguasa Indonesia, ia sadar bahwasanya hidup tak jauh beda dengan secangkir kopi yang berwarna pekat dan terasa pahit tanpa berbaur dengan gula.Tapi ia juga sadar bahwa kopi di butuhkan berjuta-juta manusia yang tersebar di bumi ini.

Di suatu ketika ia bertanya pada langit yang cerah, diatas bukit yang tinggi dan juga ia menanyakan pula pada batu-batu besar di sekitarnya yang menurut kebanyakan orang bahwa semua yang ada di bumi juga berinteraksi. Ia sering kali bertanya pada tasbih yang berputar di antara jari-jarinya, pada sajadah yang sebagai alasnya dan pada kubah masjid yang penuh kesucian.

Lalu Aku bertanya, " Hai, Tuhan, sebagai apa aku hidup di bumi-Mu ? ."

Tak terasa lama sudah aku berpijak di sini. Untuk kedepan masih kuatkah menerima segala cobaan-cobaanMu ?.Sedangkan dewasa ini aku masih belum meraih apa-apa. 

n/b : Catatan dari sebuah buku harianku.- photo di ambil dari akun facebookku.


Budi.-Dokumen pribadi- Puncak bukit J88, Jember.

Budi- Dokumen pribadi- Puncak J88, Jember.