Kereta itu melaju pelan, angin menghembus dari pintu yang terbuka lebar. Di depanku pemandangan bagai mimpi, yaitu cepat sekali berlalu tanpa berbekas. Kiranya aku kali ini akan kemana, kerudung hijau muda melambai hanya diam tak menentukan arah.
Duh, jahat sekali ia padaku. Di hadapannya, aku di ibaratkan seekor lalat yang menclok di sepiring nasinya, Ia gampang sekali melambaikan batang sapu di kedua betisku yang kurus. Entahlah, mengapa ia menjadi antagonis di muka bumi ini sehingga membuatku tak betah dirumah. Apa mungkin nama Senin, mempunyai makna jahat. Senin, nama Ibuku, seorang wanita beraut wajah judes.
Stasiun Garahan, disitu kereta sejenak berhenti. Rasa laparku mulai terasa, " Pinten sego pecel sak bungkus ? " kataku kepada penjual nasi. Sekilas bapak penjual nasi itu memiliki gurat-gurat wajah seperti bapakku, bersuara keras dan tegas, dalam hati aku bergumam, aku tahu orang tua sepertimu mempunyai hati yang lembut. Hal ini yang aku tangkap dari tata caranya ia pada saat menyodorkan sebungkus nasi padaku. Bapakku seorang petani berhati sabar. Saking sabarnya, sebagian besar orang-orang di kampung lebih akrab dan sering guyon bersama Bapak dari pada Ibu. Hal inilah yang menjadi Supangap adalah jagoan Srono paling di segani oleh banyak orang.
Beberapa menit kemudian, kereta melaju pelan, kembali kerudung hijauku melambai tersapu angin. Udara di stasiun Garahan memang cukup dingin membuat aku tak bisa menahan lapar. Kemana kereta ini melaju, ih embohlah. Nasi pincuk menemani perjalananku. Datun dan Bejo, dua kakakku yang aku sayangi, teringat kembali aku padanya.
" Yo ngono iku wes, yah begitulah awal kali kisahku sebelum mengenal kota ini. Waktu aku meninggalkan rumah usiaku masih Tujuh tahun. " Begitu Ponirah mengkisahkan perjalanannya masa kecilnya padaku.
Catatan Ponirah.
Nasi Pincuk, foto di ambil dari google.